Selamat Datang di Blog Creativepio | Mari Berbagi | Terimakasih Atas Kunjungannya....!!

Batu Golog

Posted by Unknown Sabtu, 15 September 2012 0 komentar

Pada jaman dahulu di daerah Padamara dekat Sungai Sawing hiduplah sebuah keluarga miskin. Sang istri bernama Inaq Lembain dan sang suami bernama Amaq Lembain.

Mata pencaharian mereka adalah buruh tani. Setiap hari mereka berjalan kedesa desa menawarkan tenaganya untuk menumbuk padi.
Kalau Inaq Lembain menumbuk padi maka kedua anaknya menyertai pula. Pada suatu hari, ia sedang asyik menumbuk padi. Kedua anaknya ditaruhnya diatas sebuah batu ceper didekat tempat ia bekerja.

Anehnya, ketika Inaq mulai menumbuk, batu tempat mereka duduk makin lama makin menaik. Merasa seperti diangkat, maka anaknya yang sulung mulai memanggil ibunya: "Ibu batu ini makin tinggi." Namun sayangnya Inaq Lembain sedang sibuk bekerja. Dijawabnya, "Anakku tunggulah sebentar, Ibu baru saja menumbuk."
Begitulah yang terjadi secara berulang-ulang. Batu ceper itu makin lama makin meninggi hingga melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu kemudian berteriak sejadi-jadinya. Namun, Inaq Lembain tetap sibuk menumbuk dan menampi beras. Suara anak-anak itu makin lama makin sayup. Akhirnya suara itu sudah tidak terdengar lagi.
Batu Goloq itu makin lama makin tinggi. Hingga membawa kedua anak itu mencapai awan. Mereka menangis sejadi-jadinya. Baru saat itu Inaq Lembain tersadar, bahwa kedua anaknya sudah tidak ada. Mereka dibawa naik oleh Batu Goloq.
Inaq Lembain menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berdoa agar dapat mengambil anaknya. Syahdan doa itu terjawab. Ia diberi kekuatan gaib. dengan sabuknya ia akan dapat memenggal Batu Goloq itu. Ajaib, dengan menebaskan sabuknya batu itu terpenggal menjadi tiga bagian. Bagian pertama jatuh di suatu tempat yang kemudian diberi nama Desa Gembong olrh karena menyebabkan tanah di sana bergetar. Bagian ke dua jatuh di tempat yang diberi nama Dasan Batu oleh karena ada orang yang menyaksikan jatuhnya penggalan batu ini. Dan potongan terakhir jatuh di suatu tempat yang menimbulkan suara gemuruh. Sehingga tempat itu diberi nama Montong Teker.
Sedangkan kedua anak itu tidak jatuh ke bumi. Mereka telah berubah menjadi dua ekor burung. Anak sulung berubah menjadi burung Kekuwo dan adiknya berubah menjadi burung Kelik. Oleh karena keduanya berasal dari manusia maka kedua burung itu tidak mampu mengerami telurnya.

sumber : http://legenda-daerah.blogspot.com

Baca Selengkapnya ....

Cilinaya

Posted by Unknown 0 komentar

Alkisah, pada zaman dahulu kala di daerah Sasak ada dua orang raja yang bersaudara. Seorang menjadi raja di daerah Daha dan seorang lagi di daerah Keling. Kedua orang raja ini sama-sama belum memperoleh keturunan, walau telah diobati oleh puluhan orang tabib dan dukun. Mereka lalu bersepakat untuk pergi bernazar ke pemujaan bernama Batu Kemeras yang berada di puncak sebuah bukit. Di tempat tersebut Raja Keling bernazar bahwa kalau dikaruniai anak ia akan datang lagi dengan membawa sirih pinang. Sedangkan Raja Daha bernazar akan memotong seekor kerbau yang berselimut sutera, bertanduk emas, dan berkuku perak.

Beberapa bulan kemudian, karena izin Tuhan terkabullah hajat kedua raja itu. Raja Daha dikaruniai seorang anak perempuan yang sangat cantik parasnya, sedangkan Raja Keling mendapat anak laki-laki yang juga sangat tampan.

Setelah permintaan terkabul mereka pun bersepakat pergi ke Batu Kemeras lagi untuk membayar nazarnya. Oleh karena terlalu senang, Raja Keling yang waktu itu hanya bernazar membawa sirih pinang, ternyata juga membawa seekor kerbau yang tertanduk emas, berkuku perak dan berselimut kain sutera. Sebaliknya, Raja Daha yang dahulu bernazar akan membawa kerbau seperti Raja Keling malah tidak dapat memenuhi janjinya. Ia datang hanya dengan membawa seekor anak kerbau biasa yang tidak bertanduk emas, berkuku perak, dan berselimut kain sutera. Selesai upacara membayar nazar, kedua raja itu lalu pulang ke negerinya masing-masing.

Dalam perjalanan pulang, mungkin karena nazarnya tidak sesuai, rombongan Raja Daha dihadang oleh angin puting beliung besar yang membuat bayi perempuan Raja Daha ikut terbawa ke angkasa. Melihat kejadian itu Raja Daha pun segera meratap, “Wahai anakku, buah hati permainan mata. Hanya engkaulah tumpuan hatiku. Walau engkau terbang bersama angin, tetapi bila takdir menghendaki kelak kita pasti akan berjumpa lagi.”

Sang bayi yang diterbangkan angin puting beliung itu melewati padang dan bukit, akhirnya mendarat di sebuah taman yang sangat indah. Sore harinya, saat sang tukang kebun bernama Pak Bangkol berkeliling untuk menyiram, ia melihat si bayi sedang menangis di atas sebuah pohon yang ada di dalam kebun. Sambil terkejut sekaligus gembira Pak Bangkol yang belum mempunyai keturunan segera membawa bayi itu pulang ke rumahnya.

Sesampai di rumah, sang bayi juga disambut dengan gembira oleh isterinya, Bu Bangkol. Ia sangat senang menerima bayi itu karena selama belasan tahun menikah belum juga mendapat momongan. Bayi itu kemudian dipelihara oleh Pak Bangkol dan Bu Bangkol dan diberi nama Cilinaya.

Waktu pun berlalu. Cilinaya tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan juga cerdas. Ia pandai menyulam, menenun, merangkai bunga, dan memasak, seperti perempuan di daerah itu pada umumnya.

Suatu hari, terdengar berita bahwa Pangeran putera Raja Keling yang bernama Raden Panji akan berburu di hutan dekat tempat tinggal Cilinaya. Sebelum berburu rombongan Sang Pangeran terlebih dahulu akan berkunjung ke taman indah yang dijaga oleh Pak Bangkol.

Pada hari yang telah ditentukan rombongan Sang Pangeran datang ke taman. Ia disambut oleh Pak Bangkol dengan penuh hormat walau hatinya berdebar-debar. Ia bukan takut tamannya dinilai tidak indah, melainkan karena khawatir kalau Cilinaya yang cantik jelita dipikat oleh Sang Pangeran untuk dibawa ke istananya. Untuk itu ia pun sebelumnya telah menyembunyikan Cilinaya di dalam sebuah buluh terudak benang.

Setelah berada di dalam rumah, Sang Pangeran berkata, “Bapak dan Ibu Bangkol, tujuan saya kemari selain untuk berburu dan melihat keindahan taman di sini, juga untuk memastikan apakah mimpi saya beberapa waktu yang lalu benar adanya atau tidak. Dalam mimpi tersebut saya meihat kalau Bapak dan Ibu mempunyai seorang anak gadis yang cantiknya melebihi bidadari di kayangan. Jadi, yang ingin saya tanyakan apakah benar Bapak dan Ibu mempunyai anak gadis seperti yang ada di dalam mimpi saya itu?”

Dengan wajah pucat pasi, Bu Bangkol menjawab, “Tuanku Pangeran, kami tidak mempunyai keturunan. Apabila tidak percaya, pangeran boleh memeriksa rumah kami ini.”

“Ha…ha…ha…janganlah Ibu berbohong. Aku akan memeriksa seluruh sudut di dalam rumah ini. Apabila berhasil menemukannya akan aku jadikan sebagai isteriku dan kamu akan menjadi ibu mertuaku,” kata pangeran sambil tertawa terbahak-bahak.

Lalu, bersama para pengiringnya diperiksalah seluruh isi rumah Pak Bangkol. Pencarian tidak hanya dilakukan di tempat-tempat yang dapat dilihat saja, tetapi juga di tempat-tempat yang tidak terlihat, seperti: kolong tempat tidur, gulungan tikar, lemari pakaian, tempayan, lumbung pagi, dan bahkan gerobak. Namun, setelah seluruh tempat dicari ternyata Sang Pangeran tidak berhasil menemukan gadis idaman hatinya.

Dengan langkah gontai ia lalu keluar dari rumah Pak Bangkol. Waktu melewati pintu, karena takdir Tuhan, gagang keris Pangeran Panji tersangkut oleh sehelai rambut Cilinaya. Segera dicarinya asal rambut tersebut yang ternyata berada di dalam terundak benang. Dan sesuai dengan janji Sang Pangeran, Cilinaya pun akhirnya dikawininya.

Setelah setahun tinggal di rumah Pak Bangkol, Raden Panji meminta izin kepada isterinya untuk pulang ke negeri Keling. Sesampainya di Keling ia segera menceritakan kepada ayah dan ibunya bahwa telah mengawini seorang gadis anak penjaga taman yang bernama Cilinaya.

Mendengar hal itu, Raja menjadi sangat kecewa karena puteranya kawin dengan orang kebanyakan. Secara diam-diam ia menyuruh algojo kerajaan untuk membunuh Cilinaya. Sedangkan Raden Panji disuruhnya untuk mencari hati menjangan hijau sebagai obat bagi dirinya yang berpura-pura sakit. Ini adalah siasat Sang Raja agar Raden Panji tidak mengetahui kalau isterinya akan dibunuh oleh algojo Raja Keling.

Singkat cerita, sang algojo pun telah mendapatkan Cilinanya. Ia kemudian membawanya ke sebuah pantai sepi di daerah Tanjung Menangis. Saat sampai di sebuah pohon ketapang yang rindang dekat pantai, sang algojo berkata, “Aku disuruh oleh Raja Keling sebenarnya bukan untuk membawamu ke kerajaan, tetapi untuk membunuhmu!”

Tanpa merasa gentar, Cilinaya segera menjawab, “Baiklah, Paman. Apabila memang demikian kehendak ayahanda Prabu Keling, aku akan menerimanya. Namun sebelum paman membunuhku, izinkanlah aku memetik buah maja sebagai pengganti tempat anakku menyusu. Dan satu lagi pesanku Paman, apabila nanti engkau membunuhku dan darahku berbau amis maka aku adalah orang kebanyakan. Sedangkan apabila berbau harum, maka aku adalah anak bangsawan.”

Setelah selesai mengambil buah maja Cilinaya lalu duduk berjongkok di bawah pohon ketapang sambil memeluk bayinya. Pada saat itu, Sang Algojo yang berdiri di belakangnya langsung menghunuskan kerisnya ke tubuh Cilinaya hingga tersungkur ke tanah. Anehnya, darah yang keluar dari tubuh Cilinaya berbau sangat harum seperti bau bunga kasturi. Hal ini menandakan bahwa Cilinaya sebenarnya adalah seorang bangsawan dan bukan rakyat kebanyakan.

Sang Algojo pun menjadi pusat pasi. Ia langsung meninggalkan tempat itu untuk pulang ke Negeri Keling. Sementara mayat Cilinaya dan bayinya yang sedang memeluk buah maja (disangka susu ibunya) ditinggalkan begitu saja di tempat itu.

Beberapa jam kemudian, Raden Panji dan saudaranya yaitu Raden Irun yang sedang mencari hati menjangan hijau secara kebetulan melewati tempat Cilinaya dibunuh. Dari kejauhan sayup-sayup didengarnya suara bayi sedang menangis. Karena penasaran mereka lalu mendekati suara tersebut. Setelah dekat mereka tidak hanya melihat seorang bayi yang sedang menangis melainkan juga sesosok mayat perempuan bersimbah darah yang terbujur kaku di sebelahnya.

Melihat mayat perempuan itu yang ternyata adalah Cilinaya sontak Raden Panji menjadi kaget bukan kepalang. Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba saja langit menjadi mendung disertai oleh hembusan angin kencang dan petir yang saling sambar menyambar. Dan, dari celah-celah suara petir itu terdengarlah sebuah suara gaib, ”Wahai orang yang malang, segeralah buat sebuah peti untuk mayat isterimu dan hanyutkanlah ia ke laut. Kelah Tuhan Yang Maha Kuasa akan mempertemukan kalian kembali!”

Setelah suara gaib itu menghilang dan langit kembali cerah Raden Panji segera menyuruh Raden Irun beserta para pengiringnya untuk membuat sebuah peti dari kayu yang diberi tali sepanjang seribu depa. Selanjutnya ia memasukkan mayat isterinya ke dalam peti tersebut untuk kemudian dilarung ke tengah laut sambil memegangi tali pengikatnya dari pinggir pantai.

Ketika tali sepanjang seribu depa itu sudah sampai ke ujungnya, Raden Panji segera melepaskannya sebagai simbol bahwa ikatan cinta mereka telah sampai pada titik akhir. Sambil menggendong bayinya yang saat itu langsung diberi nama Raden Megatsih (Si putus tali kasih), Raden Panji berjalan menjauh dari pantai untuk segera pulang ke Negeri Keling bersama para pengawalnya.

Sementara mayat Cilinaya yang telah berada di tengah laut tersebut ternyata terbawa oleh arus hingga ke pantai Negeri Daha. Kebetulan pada waktu yang bersamaan permaisuri Raja Daha sedang berpesta. Ketika melihat peti tersebut sang permaisuri langsung menyuruh para pengawal untuk menarik dan membukanya. Dan, ketika peti itu dibuka ternyata di dalamnya ada seorang perempuan cantik jelita yang sedang tertidur lelap. Rupanya dalam perjalanan mengarungi samudera itu secara ajaib Cilinaya telah hidup kembali. Karena tertarik oleh kecantikan Cilinaya, maka permaisuri lalu mengangkat Cilinaya menjadi anaknya.

Singkat cerita, suatu hari Raja Daha mengadakan permainan sabung ayam dengan taruhan yang sangat besar. Oleh karena taruhannya besar maka yang mengikutinya pun hanya para raja dan bangsawan dari berbagai negeri. Mereka tidak hanya mempertaruhkan uang, melainkan juga wilayah negerinya masing-masing.

Pada saat para raja sedang asyik saling memperhatikan ayam-ayam aduan mereka tiba-tiba datanglah seorang anak lelaki yang membawa ayam aduan berbulu hijau dan berekor sangat indah. Kokokannya pun berbunyi aneh, yaitu ”Do do Panji Kembang Ikok Maya. Ayahku Panji Ibuku Cilinaya”.

Cilinaya yang saat itu juga mendengar suara kokokan ayam tersebut segera mendapat firasat bahwa si pemilik ayam tidak lain adalah anaknya sendiri. Ia lalu mendatangi si anak yang tidak lain adalah Raden Megatsih dan berkata, ”Siapa namamu nak? Dari mana asalmu dan siapa nama Ayahmu?”

”Saya bernama Megatsih dari Kerajaan Keling. Nama Ayah saya Raden Panji,” Jawab Megatsih singkat.

Tanpa berkata-kata lagi Cilinaya langsung memeluk Raden Megatsih. Dengan berurai air mata ia lalu menjelaskan siapa dirinya. Selanjutnya Cilinaya bersama dengan Megatsih pergi Kerajaan Keling untuk menemui Raden Panji. Akhirnya mereka pun bersatu kembali dan hidup bahagia.



Baca Selengkapnya ....

Putri Mandalika, Asal Mula Upacar Bau Nyale

Posted by Unknown 0 komentar

Asal Mula Upacar Bau Nyale . . .

Upacara Adat Bau Nyale atau Menangkap Nyale sudah merupakan sebuah tradisi yang turun temurun dan memiliki nilai sakral yang sangat tinggi bagi suku Sasak (suku asli Pulau Lombok). Upacara Adat Bau Nyale ini biasanya diadakan sekali dalam setahun antara bulan Februari dan bulan Maret, atau tanggal 20 bulan kesepuluh menurut kalender Sasak. Panyelenggaraan acara Bau Nyale ini dipusatkan di Kabupaten Lombok Tengah bagian Selatan, tepatnya di Pantai Seger desa Kuta Kecamatan Pujut. Acara ini biasanya dilangsungkan pada malam hari hingga pagi hari. Selain dihadiri oleh seluruh masyarakat setempat, wisatawan asing maupun lokal, acara Bau Nyale ini juga di hadiri oleh para pejabat Kabupaten maupun Pejabat dari Provinsi Nusa Tenggara Barat serta ribuan massa dari segala penjuru Kabupaten Lombok Tengah yang datang tumpah ruah memadati Pantai Seger tempat dilangsungkannya acara Bau Nyale ini. Konon ceritanya bahwa Nyale atau cacing laut ini adalah jelmaan dari Putri Mandalika. Biasanya setiap upacara Bau Nyale ini dilaksanakan selalu diiringi oleh tiupan angin yang kencang, suara gemuruh yang menggelegar dan hujan deras. Tapi anehnya, semua itu hilang dan suasana menjadi tenang kembali disaat acara inti upacara Bau Nyale ini di pagi hari sebelum fajar seluruh pengunjung dan masyarakat setempat beramai-ramai turun ke laut untuk menangkap nyale.

Asal Usul Bau Nyale.
Konon pada zaman dahulu kala di Kabupaten Lombok Tengah daerah selatan Kecamatan Pujut atau di sekitar pantai selatan berdiri sebuah kerajaan yang makmur, aman dan sentosa bernama Tunjung Bitu yang dipimpin oleh seorang raja yang sangat adil, arif dan bijaksana bernama Raja Tonjang Beru dan permaisurinya bernama Dewi Seranting. Mereka memiliki seorang putri yang cantik jelita, cerdas, sopan, ramah dan bijaksana bernama Putri Mandalika.

 Seluruh rakyatnya sangat sayang kepada Putri Mandalika, karena disamping
kecantikannya, tutur bahasanya juga sangat lembut dan sopan kepada seluruh rakyatnya.

Kecantikan dan perangai sang putri raja Putri Mandalika ini tersohor dari ujung timur hingga ujung barat Pulau Lombok bahkan tersohor sampai ke negeri seberang. Kecantikan dan perangai sang Putri Mandalika ini terdengar oleh para pangeran-pangeran yang ada di berbagai Kerajaan diantaranya Kerajaan Johor, Lipur, Pane, Kuripan dan Kerajaan Beru. Tidak heran jika setelah melihat kecantikan dan keanggunannya sang Putri Mandalika maka seluruh pangeran jatuh cinta dan ingin mempersunting Putri Mandalika.

Satu persatu para pangeran-pangeran dari masing-masing kerajaan tersebut datang untuk melamar Putri Mandalika, tapi anehnya semua lamaran tersebut diterima oleh sang Putri Mandalika. Para pangeran tidak menerima keputusan itu karena tidak ingin jika sang Putri Mandalika harus diperistri oleh seluruh pangeran. Pada akhirnya seluruh pangeran yang datang melamar Putri Mandalika saat itu mengambil kesepakatan untuk mengadu keberuntungan melalui peperangan. Siapa yang menang dalam peperangan itu maka dialah yang berhak untuk memperistri sang Putri Mandalika.

Mendengar berita tentang akan terjadinya peperangan itu maka Sang Raja Tonjang Beru segera memanggil putrinya Putri Mandalika untuk membicarakan masalah tersebut. Sang Raja menyalahkan Sang Putri yang telah menerima semua lamaran Pangeran tersebut. Putri Mandalika minta ijin kepada Ayahandanya untuk menyelesaikan masalah ini, dan Sang Raja akhirnya mengijinkan dan mengabulkan permintaan putrinya untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan caranya sendiri.

Setelah berpikir sehari semalam, akhirnya sang Putri Mandalika menemukan jalan keluarnya yang terbaik untuk menyelesaikan masalah ini. Jika Putri Mandalika harus memilih salah satu dari Pangeran tersebut sebagai suaminya, tentu pangeran yang lainnya akan merasa iri. Hal ini pasti akan menimbulkan pertumpahan darah atau peperangan diantara pangeran tersebut. Namun niatnya ia batalkan setelah memikirkan resikonya itu. Hingga pada akhirnya Putri Mandalika bertekad mengambil keputusan untuk mengorbankan jiwa dan raganya. Putri Mandalika sudah siap untuk merelakan jiwa dan raganya demi menghindari terjadinya pertumpahan darah yang akan memakan korban lebih banyak lagi.

Sebelum melakukan niatnya itu, Putri Mandalika melakukan semedi terlebih dahulu dan dalam semedinya itu ia mendapat wangsit atau petunjuk agar mengundang semua Pangeran dalam sebuah pertemuan di Pantai Seger Desa Kuta Lombok Tengah pada tanggal 20 bulan kesepeluh menurut penanggalan Sasak. Mereka harus datang sebelum matahari memancarkan sinarnya di ufuk timur, dan mereka juga harus hadir dengan disertai oleh rakyatnya masing-masing.
Ketika hari yang ditentukan telah tiba, seluruh undangan dan ribuan rakyatnya berbondong-bondong berdatangan ke Pantai Seger Kuta, bahkan ada yang datang dua hari sebelum hari yang telah ditentukan oleh Putri Mandalika. Pantai Seger Kuta saat itu penuh sesak dipadati oleh rakyatnya bagaikan semut yang mengerumuni gula. Mereka semua berkumpul dengan hati sabar menanti Putri Mandalika dan untuk bisa menyaksikan bagaimana cara sang Putri Mandalika yang cantik jelita itu menentukan pilihannya.

Seperti janji yang telah diucapkan sang Putri Mandalika, akhirnya sebelum adzan Subuh berkumandang, sang Putri Mandalika yang cantik jelita itupun hadir diantara para undangan dengan gaun yang sangat indah terbuat dari kain sutera diatas usungan yang berlapiskan emas dengan pengawalan ketat dari prajurit kerjaan yang berjalan di sisi kiri, kanan dan di belakang usungan sang Putri Mandalika. Semua undangan yang hadir saat itu hanya bisa terpaku diam dan terpukau melihat kecantikan sang Putri Mandalika yang tiada tandingannya.
Setelah turun dari usungannya, Putri Mandalika melangkah dan berhenti di sebuah onggokan batu karang dan membelakangi laut lepas. Di sini Putri Mandalika berdiri dan memandang ke seluruh undangan dan rakyatnya yang hadir pada saat itu. Hingga pada khirnya Putri Mandalika berbicara singkat dan mengumumkan keputusunnya itu dengan suara lantang dan berseru "Wahai Ayahanda dan Ibunda tercinta serta semua Pangeran danrakyat negeri Tonjang Beru yang aku cintai. Aku memutuskan bahwa diriku untuk kalian semua. Aku tidak dapat memilih satu diantara Pangeran. Diriku telah ditakdirkan untuk menjadi Nyale yang bisa kalian nikmati bersama pada tanggal dan bulan saat munculnya Nyale dipermukaan laut."

Mendengar keputusan yang diberikan Putri Mandalika tersebut, Ayahanda dan Ibunda tercintanya serta seluruh undangan yang hadir tersentak kaget. Para Pangeran bingung dan seluruh rakyatnya yang sangat sayang kepadanya juga bingung dan bertanya-tanya memikirkan kata-kata Putri Mandalika itu. Tanpa diduga-duga Putri Mandalika mencampakkan sesuatu di atas batu dan langsung menceburkan diri ke dalam laut dan langsung di telan oleh gelombang. Seketika itu juga angin bertiup kencang, kilat dan petir menggelegar, seakan mengiringi kepergian sang Putri Mandalika yang cantik jelita itu. Suasana pantai menjadi kacau dan terdengar suara teriakaan dimana-mana.

Sesaat kemudian suasana sudah mulai tenang, seluruh undangan dan seluruh rakyatnya turun ke laut untuk mencari Putri Mandalika di tempat ia menceburkan dirinya tadi. Setelah sekian lama mereka mencari, namun tidak ada tanda-tanda Putri Mandalika di tempat itu. Putri Mandalika menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Pada saat mereka semua kebingungan maka tiba-tiba bermunculan ke permukaan laut binatang kecil yang berbentuk cacing yang sangat banyak jumlahnya dengan warna yang sangat indah, hijau, kuning, hitam dan coklat. Binatang itulah yang dipercaya sebagai Nyale jelmaan dari Putri Mandalika. Sesuai dengan pesan yang telah disampaikan Putri Mandalika, maka merekapun akhirnya beramai-ramai dan berlomba-lomba untuk menangkap Nyale sebanyak-banyaknya sebagai tanda cinta kasih mereka kepada sang Putri Mandalika.

Sejak saat itu, setiap tanggal 20 bulan kesepuluh kalender Sasak atau antara bulan Februari dan Maret, di Pantai Seger Kuta diadakan Upacara Adat Bau Nyale. Acara ini sudah menjadi tradisi turun temurun yang memiliki nilai sakral yang sangat tinggi di kalangan suku Sasak di Pulau Lombok hingga saat ini.

sumber : http://legenda-daerah.blogspot.com

Baca Selengkapnya ....
Modified by info update - Panduan Blogging SEO. Original by Bamz | Copyright of Creativepio Lombok Island.